Reksadana Syariat Dalam Sorotan.
Ditulis oleh ustadz DR. Muhammad Arifin Badri
Reksadana syariah telah menjadi salah satu proyek bank yang banyak diminati invertor kelas kakap. Berbagai bank syariah membentuk badan khusus, yang ditunjuk sebagai manajer investasi. Namun sayang.., ternyata reksadana syariahpun, bermasalah secara syariah.
Pendahuluan
Harta benda merupakan karunia Allah Ta’ala kepada seluruh umat manusia. Sebagai konsekuensinya, hendaknya harta tersebut dimanfaatkan dengan baik agar tercapai kemaslahatan bagi semua umat. Bukan hanya bagi para pemiliknya, namun juga bagi seluruh komponen umat. Dengan demikian, kegunaan harta dinikmati oleh semua masyarakat dan bukan hanya oleh segelintir orang saja. Allah berfirman, yang artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ibnu Katsir berkata: “Penentuan orang-orang yang berhak mendapatkan harta rampasan perang bertujuan untuk melindunginya agar orang-orang kuat nan kaya memonopoli pemanfaat harta tersebut. Akibatnya orang-orang kuat membelanjakannya hanya untuk memenuhi kesenangan dan keinginan pribadi mereka, tanpa memperdulikan nasib kaum fuqara’. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/67)
Mengenal Arti Reksadana syariah
Reksadana telah menjadi satu dari sekian banyak kegiatan ekonomi yang saat ini banyak diminati masyarakat. Mengingat dengan Reksadana, dana masyarakat dapat terkumpul dan kemudian diinvestasikan dalam portofolio efek, berupa saham atau surat berharga lainnya. Dan dari penyaluran ini diharapkan dapat menghasilkan keuntungan.
Dengan demikian, reksadana berfungsi sebagai wadah, atau lembaga intermediasi yang membantu masyarakat pemodal dalam menempatkan modalnya.
Investasi melalui reksadana memiliki berbagai kelebihan, diantaranya:
- Dana anda dikelola oleh satu tim ekonomi yang handal nan profesional.
- Biaya yang harus anda tanggung relatif murah.
- Adanya transaparasi informasi.
- Ada bagian dari keuntungan hasil usaha.
- Selisih antara harga beli dan jual (capital gain).
Guna memenuhi tuntutan masyarakat, berbagai lembaga atau badan usaha syariah berupaya membuat wadah serupa, dan tentunya dengan penyesuaian di berbagai aspek. Di negri kita, Dewan syariah Nasional (DSN) telah menerbitkan fatwa no: 20/DSN-MUI/IV/2001, tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk Reksadana syariah. Fatwa DSN ini menjadi pedoman utama bagi pelaksanaan Reksadana umat.
Mekanisme Praktek Reksadana syariah
Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang pasar modal, menjelaskan bahwa Reksadana adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal. Dan setelah terkumpul dana tersebut, oleh manejer investasi, diinvestasikan dalam portofolio efek.
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa –biasanya- Reksadana dapat terlaksana bila melibatkan 4 pihak berikut:
1) Masyarakat pemodal
Sebagai pemilik dana. Kemudian atas penyertaan modalnya, mereka berhak mendapatkan dua hal: bukti kepemilikan yang berupa unit penyertaan Reksadana syariah dan bagian dari hasil investasi.
2) Manajer Investasi
Pihak ini berperan mewakili masyarakat pemodal dalam pengelolaan dana mereka. Atas perannya ini, manejer investasi berhak mendapatkan fee, yang ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai aktiva bersih reksadana. Sebaliknya bila terjadi kerugian atau gagal usaha, maka manejer investasi tidak menanggung resiko kerugian, sepanjang tidak melakukan kelalaian atau kesengajaan.
3) Emiten
Merupakan pihak yang menerbitkan efek dan sekaligus pengguna investasi masyarakat pemodal dalam berbagai usaha halal yang ia jalankan. Penggunaan dana masyarakat pemodal ini dilakukan dengan skema bagi hasil atau mudharabah. Dengan demikian, bila pada praktek di lapangan, emitan mengalami kerugian tanpa ada kesengajaan atau keteledoran, maka kerugian yang bersifat finansial sepenuhnya ditanggung oleh pemodal, yaitu masyarakat pemodal.
4) Bank Kustodian
Pihak yang bertugas melayani penitipan, menghitung, menerima dan melakukan pembayaran berbagai pembiayaan terkait. Dan atas perannya ini, bank kustodian berhak mendapatkan fee yang dihitung atas persentase tertentu dari nilai aktiva bersih reksadana.
Demikian gambaran singkat dari reksadana syariah yang saya rangkumkan dari fatwa Dewan syariah Nasional yang bernaung di bawah Majlis Ulama Indonesia, no: 20/DSN-MUI/IV/2001.
Tinjauan Hukum Syari’at
Dengan mencermati rangkuman penjelasan di atas, maka ada tiga kejanggalan yang menurut hemat saya, yang mengurangi status kehalalan model investasi ini. Berikut ketiga kejanggalan tersebut:
Pertama, Hak Masyarakat Pemodal
Masyarakat pemodal hanya mendapatkan bukti kepemilikan yang berupa unit penyertaan modal, dan bukan kepemilikan atas unit usaha yang dikelola oleh emiten sebagai pengguna. Padahal, akad yang mengikat mereka, yang diwakili oleh Manejer Investasi dan emiten adalah akad mudharabah. Seharusnya masyarakat pemodal berperan sebagai sahib al-mal (pemilik harta), berupa modal dan tentunya unit usaha yang dijalankan dengan modal mereka.
Diantara hal yang mendukung penjelasan di atas, bahwa seharusnya masyarakat pemodal turut memiliki unit usaha yang dikelola oleh emitan dengan bermodalkan dana masyarakat adalah jenis hasil investasi yang dapat mereka terima. Dijelaskan dalam fatwa DSN bahwa diantara sumber hasil investasi yang dapat diterima ialah keuntungan dari surat saham, baik berupa dividen, capital gain, atau bagi hasil dari obligasi yang dianggap sesuai dengan syariah. Ketiga jenis keuntungan ini adalah bukti nyata bahwa masyarakat pemodal seharusnya turut memiliki unit usaha yang dibiayai dengan dana mereka.
Walau demikian, tatkala terjadi kegagalan usaha, masyarakat pemodal diminta bertanggung jawab atas resiko kerugian sebesar persentase modal yang mereka sertakan.
Adapun bukti unit penyertaan modal Reksadana yang diterima oleh masyarakat pemodal, sejatinya hanyalah bukti pengakuan wakalah yang diterbitkan oleh manejer investasi. Dan tentunya anda memahami bedanya dengan bukti kepemilikan atas unit usaha yang dijalankan oleh emiten dengan dana mereka.
Kesimpulannya, secara syariat, pada kasus Reksadana telah terjadi ketidak adilan, karena masyarakat pemodal harus menanggung kewajiban yang melebihi batas kewajaran. Hak kepemilikannya dipindahkan kepada emiten, tanpa ada alasan yang dibenarkan secara syari’at pula. Dengan demikian praktek semacam ini adalah bentuk memakan harta orang lain dengan cara-cara yang tidak benar. Allah berfirman, yang artinya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. Al Baqarah: 188)
Kedua, Hak Manejer Investasi
Atas jasanya, manejer investasi yang berperan ‘mewakili’ masyarakat pemodal, berhak mendapatkan bagian dari nilai aktiva bersih yang dihitung dalam persentase. Akad ini, dalam disiplin ilmu fiqih disebut dengan akad ijarah (jual jasa) atau akad ju’alah (upah).
Kemudian, ulama’ fiqih telah menjelaskan bahwa upah dalam kedua jenis akad itu haruslah ditentukan dalam bentuk nominal, dan bukan dalam persentase. Penentuan hak manejer investasi dalam persentase semacam ini termasuk bentuk gharar yang diharamkan dalam syari’at.
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan (gharar).” (HR. Muslim)
Ketiga, Hak Bank Kustodian
Bila anda cermati dengan seksama, tugas Bank Kustodian hanyalah sebatas memberikan layanan, dengan demikian sejatinya akad yang mengikat bank kustodian adalah akad ijarah. Konsekuensinya, seharusnya imbalan yang mereka terima adalah upah yang dtentukan dalam nominal tertentu dan bukan dalam persentase dari nilai aktiva bersih Reksadana.
Penutup
Semoga apa yang telah saya paparkan dalam tulisan ini dapat menjadi masukan positif bagi anda, terutama yang berminat untuk terjun dalam usaha Reksadana. Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab
PengusahaMuslim.com
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328